STANDARISASI EKSTRAK ETANOL DAUN Eugenia cumini Merr.

PENDAHULUAN
Tumbuhan Eugenia cumini Merr (myrtaceae) dilaporkan mengandung senyawa kimia antara lain suatu alkaloid, flavonoid, resin, tanin, dan minyak atsiri. Tumbuhan ini dikenal dengan berbagai macam nama seperti di India dan Malaysia dikenal dengan nama jaman, jambul, jambu, jamelong, di Indonesia dikenal sebagai jambulan, jamblang (Jawa barat), juwet atau duwet (Jawa timur), dan jambu kaliang (Sumatra barat).( TropilapÒ Inc. 2003)
Tumbuhan Eugenia cumini Merr digunakan sebagai obat tradisional beranekaragam. Kulit batang, buah, daun dan biji digunakan untuk menurunkan kadar gula darah (Grover, et al 2002). Selain itu kulit batang digunakan juga untuk obat anemia, buah untuk obat diare, disentri, sementara daunnya juga digunakan sebagai anti bakteri, pembuat parfum dan pemutih gigi (Shafi, et al., 2002; Tjitrosoepomo, 1994). Dari hasil penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa ekstrak etanol daun Eugenia cumini Merr pada dosis 50, 100, 200 mg/kg BB dapat menurunkan kadar gula darah secara nyata pada mencit diabetes yang diinduksi dengan aloksan dengan dosis 200 mg/kg BB (Helmi et al. 2004).  
Agar khasiat dan stabilitas ekstrak daun Eugenia cumini Merr ini dapat terjamin, maka perlu dipenuhi suatu standar mutu produk / bahan ekstrak, hal ini tidak terlepas  dari  pengendalian  proses, artinya bahwa proses yang terstandar dapat menjamin  produk yang terstandar mutunya. Dengan adanya bahan baku terstandar dan proses yang terkendali, maka akan diperoleh produk/bahan ekstrak yang mutunya terstandar.(Depkes RI, 1995).
METODA

1. Alat dan bahan

Seperangkat alat destilasi vakum, rotary evaporator, timbangan analitik, oven, krus silikat, tang krus, cawan petri, kaca arloji, cawan penguap, autoklaf, kertas saring bebas abu, penangas air, tabung reaksi, pipet tetes, desikator, piknometer, kapas, kasa steril, inkubator, coloni counter, labu bersumbat, plat tetes, chamber, plat KLT (Silica gel GF 254P), kertas saring Whatman No.42, labu kjedahl, Spektrofotometer Serapan Atom model Alpha - 4.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini : daun segar Eugenia cumuni Merr, aquadest, Nutrien Agar (merck), Potato Dextrose Agar (merck), asam sulfat pekat, kloroform, metanol, etanol 96%, etanol 95%, etanol 70%, etil asetat, serbuk Mg, asam klorida pekat, timbal (II) Nitrat, asam nitrat 0,15 N, hidrogren peroksida, asam asetat anhidrat, larutan FeCl3, pereaksi citro borax, asam sulfat pekat 10 % dalam metanol, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorf.
2. Pembuatan  ekstrak  
Ekstrak dibuat dengan memaserasi sejumlah (1.25 kg) daun segar E cumini yang sudah dibersihkan dan  dirajang halus dengan etanol 96% selama 5 hari sambil sekali-sekali diaduk. Maserat dikumpulkan lalu diuapkan dengan destilasi vakum, kemudian dikentalkan dengan rotary evaporator sampai berat konstan.
  3. Penentuan parameter-parameter Standarisasi
Parameter spesifik (Depkes RI, 1980)
1.  Penetapan organoleptik ekstrak, meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa.
2.  Penetapan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu.
a.  Kadar senyawa yang larut dalam air.
Sejumlah 5 g ekstrak disari selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform LP, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, saring. Diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan  pada  suhu  105°C  hingga  bobot  tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal.
b.  Kadar senyawa yang larut dalam etanol.
Sejumlah 5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil berkali kali dikocok selama 6 jam  pertama  dan  kemudian  dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditara, residu dipanaskan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Dihitung  kadar dalam persen senyawa yang  larut  dalam  etanol  terhadap berat ekstrak awal.
Parameter Non Spesifik (Depkes RI, 1980)
1. Penetapan Kadar Air.
Ditimbang seksama 1 g ekstrak dalam krus porselen bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105°C selama 30 menit dan telah ditara. Ratakan dengan menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal (5 mm – 10 mm) dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap, buka tutupnya, biarkan krus dalam keadaan  tertutup  dan  mendingin  dalam  desikator hingga  suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh untuk menghitung persentase susut pengeringannya.

2. Penetapan Kadar Abu
Ditimbang 2 g ekstrak  dengan seksama ke dalam krus yang telah ditara, dipijarkan perlahan lahan. Kemudian suhu di naikkan secara bertahap hingga 600 + 25°C sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta timbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal.

Kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, disaring dan ditimbang, ditentukan kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal.
 3. Penentuan  Bobot  Jenis (Depkes RI, 2000)
Bobot jenis ekstrak ditentukan terhadap hasil pengenceran ekstrak (5% dan 10%) dalam pelarut tertentu (etanol) dengan alat piknometer.
4. Penentuan total bakteri dan total kapang  (Depkes RI, 2000)
a.   Penetuan total bakteri
Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari  pengenceran 10-4 , ditanamkan dalam medium NA, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran.
b.   Penentuan total kapang
Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-4 ditanam dalam medium PDA, lalu diinkubasi pada suhu 25°C selama tiga hari. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran.
           
5.   Penentuan Batas Logam Timbal (Pb).
Penentuan batas logam Pb di dalam ekstrak dilakukan secara destruksi basah ekstrak dengan asam nitrat dan hydrogen peroksida, kadar Pb ditentukan dengan spektrofotometri serapan atom (Depkes RI, 1995; Raimon, 1992; Slavi, 1978; Haswell, 1991).
4. Uji Kandungan Kimia Ekstrak.
a. Penapisan  golongan kimia ekstrak (Soetarno dan Soediro, 1997; Depkes RI, 2000) diantaranya :
1. Uji alkaloid
§ Dengan plat KLT, dimana pada plat ditotolkan ekstrak, lalu disemprotkan dengan reagen Dragendorf. Apabila ada noda yang naik yang memberikan perubahan warna menjadi orange atau merah, diduga positif alkaloid.
§ Dengan metoda “Culvenor Fitzgerald”, daun segar sebanyak 4 gram dirajang halus, lalu dibasahi dengan sedikit alkohol, lalu digerus, kemudian tambahkan sedikit pasir, gerus. Tambahkan 10 ml kloroform amoniak 0,05 N, digerus lagi. Saring dengan kapas, lalu diambil dengan pipet, dan dimasukan ke dalam tabung reaksi besar, tambahkan 5 ml asam sulfat 2 N, lalu dikocok. Lapisan asam diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang kecil, lalu ditambahkan satu tetes reagen Mayer. Apabila terbentuk endapan putih, berarti positif alkaloid.
2. Uji flavonoid
Ekstrak ditambahkan serbuk Mg, lalu ditambahkan asam klorida pekat. Apabila terbentuk warna orange, merah, atau kuning, berarti positif flavonoid.
1. Uji terpenoid dan steroid.
Ekstrak dimasukkan sedikit dalam tabung reaksi kecil, lalu dikocok dengan sedikit eter. Lapisan eter diambil lalu diteteskan pada plat tetes, dan dibiarkan sampai kering. Setelah kering, ditambahkan dua tetes asam asetat anhidrat dan satu tetes asam sulfat pekat. Apabila terbentuk warna orange, merah, atau kuning berarti positif terpenoid. Tetapi apabila terbentuk warna hijau berarti positif steroid.
2. Uji fenolik
Sejumlah kecil ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi kecil, lalu dikocok dengan sedikit eter. Lapisan eter dikeringkan pada plat tetes, ditambah larutan FeCL3. Terbentuk warna ungu biru berarti positif fenolik.
3. Uji saponin.
Lapisan air pada fraksi di atas diambil, lalu dikocok vertikal. Apabila terbentuk busa yang stabil selama 10 menit berarti positif saponin.
b. Profil KLT ekstrak (Sthahl Egon, 1969; Hendrajaya dan Kesuma, 2003).
Eksrak (5 g) di fraksinasi berturut–turut dengan pelarut heksan, etil asetat, air, (10 ml)  setiap perlakuan. Fraksinasi dilakukan dengan pengocokan selama 15 menit.
1. Uji terpenoid  :
Fase gerak dibuat campuran heksan–etilasetat (1:1) dimasukkan ke dalam chamber dan dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT GF254 p ditotolkan kira-kira 5 ml sari heksan dan dimasukkan pada chamber, dielusi sampai tanda, diambil dan dibiarkan sampai kering. Ekstrak mengandung terpenoid bebas bila dilihat dibawah sinar UV 365 nm berfluoresensi hijau / berwarna merah ungu atau biru dengan pereaksi asam sulfat pekat 10 % dalam metanol.
2. Uji Alkaloid :
Dibuat fase gerak etilasetat – metanol – air (100 : 13,5 : 10) dimasukkan dalam chamber, dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT GF254 p ditotolkan kira-kira 5 ml masing – masing sari etil asetat, air, masukkan dalam chamber, dielusi sampai tanda, diambil dan dibiarkan sampai kering. Ekstrak mengandung alkaloid bebas bila dilihat dibawah sinar UV 365 nm berfluoresensi hijau / berwarna jingga dengan pereaksi Dragendorf.
3. Uji flavonoid.
Dibuat fase gerak kloroform – etilasetat ( 6 : 4 ) dimasukkan dalam chamber, dibiarkan sampai jenuh. Pada plat KLT GF254 p   ditotolkan kira-kira 5 ml masing – masing sari etil asetat, air, lalu dimasukan dalam chamber, dielusi sampai tanda. Ekstrak mengandung flavonoid bebas bila dilihat dibawah sinar UV 365 nm berfluoresensi hijau / berwarna biru atau kuning dengan pereaksi citro  borax.

HASIL DAN DISKUSI
Pada penelitian ini digunakan sampel berupa daun Eugenia  cumini Merr segar agar pelarut lebih mudah berpenetrasi ke dalam daun, sehingga zat-zat yang terdapat pada sampel lebih mudah terekstraksi. Maserasi sampel dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol karena sifatnya yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang bersifat polar, semi polar dan non polar serta kemampuannya untuk mengendapkan protein dan menghambat kerja enzim sehingga dapat terhindar proses hidrolisis dan oksidasi (Harborne, J.B., 1987; Voight, R., 1994). Etanol yang digunakan adalah etanol 96% yang lazim digunakan untuk ekstraksi sampel segar.
Setelah melalui proses maserasi, ekstrak etanol dipekatkan dengan destilasi vakum agar dapat menggurangi tekanan udara pada permukaan sehingga akan menurunkan titik didihnya. Ini akan dapat mengurangi kemungkinan terurainya senyawa yang terdapat dalam sampel tersebut pada suhu tinggi. Kemudian ekstrak di rotary evaporator untuk menguapkan pelarut dan air yang masih tersisa sehingga didapatkan ekstrak kental dengan berat konstan (Harborne, J.B., 1987). Dari hasil maserasi ini diperoleh ekstrak sebanyak 6% dari berat sampel segarnya.
Setelah didapatkan ekstrak kental dilakukan penetapan standar mutu dan kandungan kimia ekstrak. Persyaratan mutu ekstrak meliputi parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Standardisasi ini dimaksudkan agar dapat menjamin bahwa produk ekstrak mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (Depkes RI, 2000).
Pada pemeriksaan organoleptik ekstrak meliputi bentuk, warna, bau dan rasa. Dari pengamatan  didapatkan hasil : ekstrak berkosistensi kental, berwarna coklat tua, berbau khas dan berasa sepat. Penentuan organoleptik ini termasuk salah satu parameter spesifik yang ditentukan dengan menggunakan panca indera dan bertujuan untuk pengenalan awal secara sederhana dan subjektif.
Kadar senyawa yang terlarut dalam air dan dalam etanol dari ekstrak adalah 12,4% ± 0,551 untuk senyawa yang larut dalam air dan 16% ± 0,924 untuk senyawa yang larut dalam etanol. Ini berarti ekstrak lebih banyak terlarut dalam etanol dibandingkan dalam air. Kadar zat terlarut ini merupakan uji kemurnian ekstrak yang dilakukan untuk mengetahui jumlah terendah bahan kimia kandungan ekstrak yang terlarut dalam pelarut tertentu. Untuk syarat kemurnian dari simplisia maupun ekstrak minimum harus dilakukan uji penetapan kadar zat terekstraksi dalam air dan etanol (Soetarno dan Soediro, 1997).
Kadar air dalam ekstrak diperoleh 9,7% ±  0,115. Kadar air ditetapkan untuk menjaga kualitas ekstrak. Disamping untuk penentuan kadar air, dapat juga untuk  menentukan jumlah zat lain yang mudah menguap pada ekstrak. Menurut literatur kadar air dalam ekstrak tidak boleh lebih dari 10%. Hal ini bertujuan untuk menghindari cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak (Soetarno dan Soediro, 1997).
Penentuan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran  kandungan mineral internal dan eksternal, disini ekstrak dipanaskan  hingga senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sampai tinggal unsur mineral dan anorganik saja. Kadar abu ekstrak didapat sebesar 2,9 % ± 1,127  dan kadar abu yang tidak larut dalam asam sebesar 0,13% ± 0,058. Hal ini menunjukan bahwa sisa anorganik yang terdapat dalam ekstrak sebesar 2,9% ± 1,127 dan kadar unsur anorganik yang tidak larut dalam asam sebesar 0,13% ± 0,058.  
Bobot jenis ekstrak dihitung dengan menggunakan piknometer. Ekstrak yang digunakan adalah ekstrak yang telah diencerkan 5% dan 10% menggunakan etanol 96% sebagai pelarut. Dimana didapatkan hasil sebesar 0,8293 m/v ± 2.10-4 untuk pengenceran 5% dan 0,8489 m/v ± 5.10-5  untuk pengenceran 10%. Ini menggambarkan besarnya massa persatuan volume untuk memberikan batasan antara ekstrak cair dan ekstrak kental, bobot jenis juga terkait dengan kemurnian dari ekstrak dan kontaminasi (Depkes RI, 2000).
Pengujian cemaran bakteri termasuk salah satu uji untuk syarat kemurnian ekstrak. Uji ini mencakup penentuan jumlah mikroorganisme yang diperbolehkan dan untuk menunjukan tidak adanya bakteri tertentu dalam ekstrak. Pada ekstrak terdapat cemaran bakteri 2,7 x 104 koloni/g. Ini berada dibawah batas maksimum yaitu 106 koloni/g menurut SK Dirjen Pom No : 03726/B/SK/VII/89 tentang batasan maksimum mikroba dalam makanan. Rendahnya pertumbuhan bakteri ini juga bisa disebabkan karena ekstrak yang digunakan adalah ekstrak etanol, dimana etanol juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau mikroba dalam ekstrak. Begitu juga pada pengujian pencemaran kapang pada ekstrak didapat sebesar 3,3 x 103 koloni/g berada dibawah batas maksimum yaitu 104 koloni/g. Dimana tidak ditemukan ciri mikroskopis biakan Aspergillus flavus, koloni yang tumbuh berwarna kuning muda dan hifa tidak bersekat. Sehingga penentuan angka aflatoksin tidak dilanjutkan. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh jamur. Aflatoksin dapat menyebabkan toksigenik (menimbulkan keracunan), mutagenik (mutasi gen), teratogenik (penghambatan pada pertumbuhan janin) dan karsinogenik (menimbulkan kanker pada jaringan) (Rustian, 1993).
Penentuan kandungan logam timbal (Pb) pada ekstrak berguna untuk dapat menjamin bahwa ekstrak tidak mengandung timbal melebihi batas yang ditetapkan karena bersifat toksik terhadap tubuh. Agar didapatkan data yang valid maka dianalisa dengan menggunakan metoda spektrofotometri serapan atom. SK Dirjen POM No 03725/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum cemaran logam dalam makanan menyatakan bahwa batas maksimum cemaran logam timbal pada rempah – rempah sebesar 10 mg/kg, setelah dilakukan pengujian diketauhi bahwa ektsrak tidak mengandung logam timbal sehingga memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Pada penapisan golongan kimia ekstrak menunjukan bahwa ekstrak mengandung  alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid, fenolik dan saponin. Pola kromatografi dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) memberikan gambaran kandungan kimia dan juga dapat mencegah pemalsuan terhadap zat aktif. Pada KLT ini ekstrak terlebih dahulu dipisahkan berdasarkan kepolarannya dengan cara mengekstraksi dengan heksan sehingga diperoleh fraksi heksan yang diduga mengandung senyawa seperti klorofil, lemak, lilin, atau senyawa nonpolar lainya. Fraksi yang tidak larut dengan heksan kemudian diekstraksi dengan etil asetat, disini akan larut senyawa-senyawa semi polar sedangkan senyawa yang yang polar dan sangat polar tetap tinggal dalam fraksi air (Soetarno dan Soediro, 1997)
Fraksi heksan ditotolkan pada plat KLT kemudian dielusi dengan pelarut heksan : etil asetat (1:1) dimana didapatkan noda yang berwarna merah ungu dengan penampak noda asam sulfat pekat 10% dalam metanol pada Rf 0,9 dan Rf 0,85 yang diperkirakan mengandung senyawa golongan terpenoid. Pada fraksi etil asetat setelah ditotolkan pada plat KLT dan dielusi dengan pelarut etil asetat : metanol : air (100 ml : 13,5 ml : 10 ml) didapat noda pada Rf 0,83 yang berwarna jingga dengan penampak noda Dragendorf, yang diperkirakan mengandung senyawa golongan alkaloid, begitu juga pada penentuan senyawa golongan flavonoid, fraksi etil asetat ditotolkan pada plat KLT dan dielusi dengan pelarut kloroform : etil asetat (6:4) didapatkan noda pada Rf 0,1 yang berwarna kuning dengan penampak noda citro borax.

Tabel 1. : Hasil standarisasi ekstrak etanol daun Eugenia cumini Merr
No.
Parameter
Hasil
1.
Organoleptis
Warna : coklat tua,
Bau : berbau khas
Rasa : sepat
Bentuk : kental
2.
Kadar senyawa terlarut dalam :
§ Air
§ Etanol

12,4% ± 0,551
16% ± 0,924
3.
Kadar air
9,7% ± 0,115
4.
Kadar abu
2,9%  ± 1,127
5.
Kadar abu yang tidak larut asam
0,13%  ± 0,058
6.
Bobot jenis ekstrak :
§ Pada pengenceran 5%
§ Pada pengenceran 10%

0,8293 m/v ± 2.10-4
0,8489 m/v ± 5.10-5 
7.
Total cemaran bakteri :
2,7 x 10 4 koloni/g
8.
Total cemaran kapang :
3,3 x 10 3 koloni/g
9.
Uji cemaran logam   timbal {Pb}
Negatif
10
Kandungan  kimia ekstrak
§ Alkaloid
§ Flavonoid
§ Terpenoid
§ Steroid
§ Fenolik
§ Saponin

+
+
+
+
+
+
11.
Profil KLT
§ Terpenoid
§ Alkaloid
§ Flavonoid

(+) pada Rf 0,9 dan Rf 0,85
(+) pada Rf 0,83
(+) pada Rf 0,1

 


KESIMPULAN DAN SARAN


1. Secara organoleptik ekstrak adalah ekstrak kental, berwarna coklat tua, bau khas dan rasa sepat. Kelarutan dalam air 12,4% ± 0,551 dan kelarutan dalam etanol 16% ± 0,924.
2. Kadar air ekstrak didapat sebesar 9,7% ± 0,115. Kadar abu ekstrak  2,9% ± 1,127 dan kadar abu yang tidak larut asam 0,13% ± 0,058. Bobot jenis ekstrak pada pengenceran 5% : 0,8293 m/v ± 2.10-4  dan pada pengenceran 10% : 0,8489 m/v ± 5.10-5.
3. Total cemaran bakteri dari ekstrak sebesar 2,7 x 104 koloni/g dan total cemaran kapang sebesar 3,3 x 103 koloni/g. Total cemaran bakteri dan kapang dari ekstrak memenuhi syarat standar yaitu berada dibawah batas maksimum: 106 koloni/g untuk bakteri dan 104 koloni/g untuk kapang sesuai dengan  SK Dirjen POM No : 03726/B/SK/VII/89 tentang batasan maksimum cemaran mikroba dalam makanan, sedangkan cemaran aflatoksin tidak ditemukan. Pada uji cemaran logam timbal (Pb) dari ekstrak juga memenuhi syarat standar yaitu sesuai dengan SK Dirjen POM No : 03725/B/SK/VII/89 tentang batas maksimum cemaram logam dalam makanan.
4. Pada penapisan golongan  kimia dari ekstrak menunjukan adanya senyawa alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid, fenolik,  dan saponin.
5. Profil Kromatografi ekstrak menunjukan adanya noda dari fraksi heksan pada Rf 0,9 dan Rf 0,85 dengan penampak noda asam sulfat pekat 10% dalam metanol yang diperkirakan suatu terpenoid. Dari fraksi etil asetat didapat noda pada Rf 0,83 dengan penampak noda dragendorf yang diperkirakan suatu alkaloid dan pada Rf 0,1 dengan penampak noda citro borax diperkirakan adanya senyawa flavonoid.
DAFTAR  PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, 1980.“Materia Medika Indonesia,” Jilid IV.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1995). Farmakope Indonesia, Edisi IV.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, (2000). “Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat,” Edisi I, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, Jakarta.
Grover, J.k., Yadav, Vats, (2002). “Medicinal Plants Of India With Anti-Diabetic Potential, “ J. Ethonpharmacol, 81 (1), 81 – 100.
Harborne, J.B., (1987). “Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisa  Tumbuhan”, Cetakan II, Diterjemahkan oleh K, Padinawinata dan I, Soediro, Penerbit ITB Bandung.
Haswell, S.J., (1991). “Atomic Absorbtion Spectroscopi, Theory, Design, and Applications”, Elsevier Science Publisher, New York.
Helmi Arifin, Melissa, Almahdy, (2004). Efek antidiabetes ekstrak etanol daun Eugenia cumini Merr. pada mencit diabetes yang diinduksi dengan aloksan. Journal Matematika dan Pengetahuan Alam, vol. 13  no. 1, 32-37
Hendrajaya, K. dan D. Kesuma, (2003). “Skrining Fitokimia Limbah Rimpang Acorus Calamus L, Yang Telah Terdestilasi Minyak Atsirinya”, Prosiding: Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia, XXIII, Jakarta, 25 – 26 Maret 2003, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta.
Raimon, (1992). ”Perbandingan Metoda Destruksi Basah dan Kering Terhadap Penentuan Logam Fe, Cu, dan Zn”Balai Penelitian dan pengembangan Industri Palembang, Edisi Khusus BIPA, Palembang.
Rustian, (1993). “Pemeriksaan Jumlah Total Cemaran Bakteri dan Kapang Serta Identifikasi Aspergillus Flavus Pada Sediaan Jamu Bubuk, di Beberapa Tempat Penjualan di Kotamadya Padang”, Skripsi Sarjana Farmasi, FMIPA, UNAND, Padang.
Sthahl Egon, (1969). “Thin Layer Chrmatography, “Heidelberg, New York.
Soetarno, S., dan I.S., Soediro, (1997). Standardisasi Mutu Simplisia dan Extrak Bahan Obat Tradisional, Presidium Temu Ilmiah Nasional Bidang Farmasi.
Shafi, P.M., M.K. Rosamma, K. Jamil, P.S. Reddy, (2002).“Anti Bacterial Activity of Syzigium cumini Leaf Essential Oil,”fitoterapia, 72 (5), 414 - 416
Tjitrosoepomo, G. (1994). “Takstum Obat obatan,”UGM Press, Yogyakarta.
TropilapÒ Inc. (2003). “Exporter and Wholesaler of Medicinal Plants, Herbs and tropical Seed, “Syzigium cumini L. – Jamun.” available on http ://www.tropilab.com/ syzigium-jambolanum.
Voight, R., (1994). “Buku Pelajaran Teknologi Farmasi”, Diterjemahkan oleh S. Noerono, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.

No comments:

Post a Comment